Tragedi AirAsia QZ 8501 menyisakan beberapa pertanyaan yang penting.
Salah satunya: Apakah penyebab kecelakaan yang menewaskan seluruh 162
penumpang dan kru low cost carrier itu faktor cuaca atau faktor manusia
(human error).
Bahwa cuaca buruk di lintasan yang dilalui dari Surabaya menuju Singapura rasanya tidak terbantahkan lagi.
Ada juga satu fakta: Pilot AirAsia
minta izin naik ke ketinggian untuk menghindari cuaca buruk. Izin tidak
diberikan menara pengawas. Setelah itu Airbus 320 itu hilang kontak.
Dan jatuh.
Koran The Straits Time Singapura hari ini menampilkan grafis yang memperlihatkan posisi pesawat di jalur maut itu sesaat sebelum kecelakaan terjadi.
AirAsia 8501 terbang di ketinggian 32 ribu kaki, paling rendah.
Di atas AirAsia 8501 ada tujuh pesawat lainnya (lihat grafis).
Masuk akal kalau menara pengawas (ATC) tidak memberi izin ke pilot AirAsia 8501 untuk menambah ketinggian.
Itulah titik awal penyelidikan.
Dua pertanyaan lain menyusul.
Pertama: Mengapa AirAsia 8501 tetap diizinkan terbang padahal jalur penerbangan pada jam itu demikian padatnya. Cuaca juga merah di beberapa spot.
Kedua: Mengapa (atau apakah boleh dibenarkan) AirAsia memajukan jadwal penerbangan dari jadwal semula pukul delapan pagi ke pukul 05.30.
Stasiun televisi CNN menyoroti pertanyaan kedua.
Memajukan jadwal penerbangan ke jam yang sibuk dan pada saat cuaca buruk dianggap sebagai keputusan yang salah.
Masalahnya, seperti terlihat pada grafis, dalam kondisi cuaca buruk,
pilot membutuhkan ruang manuver yang lebih besar dan lebih tinggi.
Hal itulah yang tidak diperoleh pilot berpengalaman dari AirAsia 8501.
Cuaca buruk. Pilot tidak memiliki ruang untuk menaikan pesawat. Jadwal dimajukan ke jam sibuk.
Beberapa hari ke depan, publik menunggu penjelasan yang lebih komprehensif mengenai apa yang terjadi.
Kecelakaan AirAsia bukan cuma soal AirAsia dan korban beserta keluarga.
Ini soal yang lebih besar: Apakah kita bisa menggantung nasib kita, nasib keluarga kita, pada pengelola industri penerbangan.
Apakah maskapai penerbangan murah benar-benar harganya murah atau nyawa manusia yang dinilai murah.
Inilah inti soalnya: Seberapa kuat otoritas penerbangan dan pengelola low cost carrier berpihak pada nasib manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar